Salah satu kajian penting dalam Islam
adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set of
principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur
hidup manusia). Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional
dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda
dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk,
sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu
itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran
moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan
pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang amat populer
memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis.
Dikotomi
Moral Dan Bisnis
Di zaman klasik bahkan juga di era modern,
masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka
tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang
ekonom klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak
mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam
ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan
ekonomis belaka.
Di Indonesia Paham klasik tersebut
sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya
ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli,
penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja,
perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu
telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media
elektronik.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis
sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan
ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan
etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis,
dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai
(value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi,
menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi
menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih
bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis
hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip
ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kebangkitan Etika Bisnis
Kebangkitan Etika Bisnis
Sebenarnya, Di Barat sendiri, pemikiran
yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat netral etika seperti di atas,
akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan
bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak. Dalam ilmu ekonomi harus
melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika
sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai
tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston, 1994, yang
merangkum pemikiran Boulding (1970), Mc Kenzie (1981), dan Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang
ekonom kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of
Economics, Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994). Tidak sedikit
pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral
dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya
monumental dan menjadi best seller; The Moral dimension: Toward a New Economics
(1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi semakin
banyak bermunculnan.
Jadi, menjelang millenium ketiga dan
memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis
bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis, melainkan oleh
perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta
pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli ekonomi.
Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar
global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme,
tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material,
aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public atau trans
nasional, kaedah-kaedah baru di bidang managemen, seperti Total Quali¬ty
Management, rekayasa ulang dan bencmarking yang menghasilkan pemipihan hirarki
dan empowerment, semuanya telah men¬ingkatkan kesadaran orang tentang
keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada
sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi
keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat
kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of
Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik
bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil
menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius.
Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan
memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab,
bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan,
bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika
memasuki lapangan bisnis.
Kecenderungan
Baru
Perusahaan-perusahaan besar, model abad
21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan
etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan
ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh James Liebig, penulis Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia
mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James Liebig menemukan enam
perspektif, yang umum berlaku, sbb:
- Bertindak sesuai etika,
- Mempertinggi keadilan sosial,
- Melindungi lingkungan,
- Pemberdayaan kreatifitas manusia,
- Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan,
- Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang bebas nilai.
Perspektif di
atas menunjukkan bahwa etika bisnis yang selama ini jadi cita-cita, kini benar benar
menjadi mudah diwujudkan sebagai kenyataan.
Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, bahkan kepatuhan
kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif terhadap upaya
meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya, para pengusaha
sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak terlalu besar antara
penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang diterima oleh
kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan
secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cendrung dianggap sebagai sekrup dalam
mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering
menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak.
Perusahaan-perusahaan
besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan,
bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di
sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend
baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum
sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri
kita yang dikenal agamis ini.
Dari paparan di
atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana bisnis merupakan
keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia bisnis membutuhkan etika,
Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan urgensi etika bagi
aktivitas bisnis.
Islam Sumber Nilai dan Etika
Islam merupakan
sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh,
termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika
bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan,
faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan,
masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika
sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial.
Aktivitas bisnis
merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat
dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti
kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai
tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya
kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat
dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari
kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif.
Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme.
Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat
banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi
pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha,
tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau
penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah
sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan
bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi
membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang
ideal ternyata pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini
menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan,
sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah. Nilai,
spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi
baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Syed Nawab
Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”,
memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan),
kebebasan, tanggung jawab.
Tauhid,
merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk
kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok
makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas
dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan dan
keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan
berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31).
Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis,
tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS.
51:19)
Kebebasan,
berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh
untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas
mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk
kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua
boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah
ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak
mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban,
berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral
kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam,
adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
PANDUAN NABI MUHAMMAD DALAM BISNIS
Rasululah Saw,
sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah:
Pertama, bahwa
prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran
merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens
menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau
bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang
mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa
yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah
sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang
meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
Kedua, kesadaran
tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak
hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang
diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada
sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis.
Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari
kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
Ketiga, tidak
melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku
bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah
hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu,
barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis
riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang
yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti
di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat
ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya
meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun
keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
Keempat,
ramah-tamah . Seorang palaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan
bisnis. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah
dan toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
Kelima, tidak
boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik
membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian
melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual
untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik
orang lain untuk membeli).
Keenam, tidak
boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan
maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq
‘alaih).
Ketujuh, tidak
melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa
tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan
besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Kedelapan,
takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang
benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi
orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain,
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).
Kesembilan,
Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang
yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan
shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati
dan penglihatan menjadi goncang”.
Kesepuluh, membayar
upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah
upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini
mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran
upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan.
Kesebelas, tidak
monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi
monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan)
individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan
kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk
keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini
dilarang dalam Islam.
Kedua belas,
tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang
dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan
melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh
menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia
diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang
Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan
diperhatikan secara cermat.
Ketiga belas,
komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang
yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad
Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi
dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
Keempat belas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
Kelima belas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
Keempat belas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
Kelima belas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
Keenam belas,
Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda
Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar
hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya
pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
Ketujuh belas,
bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai
orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS.
al-Baqarah:278). Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang
kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang
terhadap riba.
Demikianlah
sebagian etika bisnis dalam perspektif Islam yang sempat diramu dari sumber
ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun Sunnah.